Proses Penyulingan Minyak Atsiri
Banyaknya kekayaan hayati Indonesia menjadikan semakin berkembang ide-ide untuk meningkatkan nilai jual produk tanaman terutama tanaman penghasil minyak atsiri (essential oil). Di Indonesia telah dikenal sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri yang bisa di komersialkan, tapi baru sebagian saja yang telah digunakan sebagai sumber minyak atsiri secara komersil.
Proses untuk mendapatkan minyak atsiri dikenal dengan cara menyuling atau destilasi terhadap tanaman penghasil minyak.
Didunia komersil, metode destilasi/penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan 3 cara, antara lain :
1. Penyulingan dengan sistem rebus (Water Distillation)
2. Penyulingan dengan air dan uap (Water and Steam Distillation)
3. Penyulingan dengan uap langsung (Direct Steam Distillation)
Penerapan penggunaan metode tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti jenis bahan baku tanaman, karakteristik minyak, proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi minyak akibat efek panas, efisiensi produksi dan alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi.
Berikut ini akan saya bahas masing-masing metode penyulingan diatas :
Penyulingan dengan sistem rebus (Water Distillation)
Cara penyulingan dengan sistem ini adalah dengan memasukkan bahan baku, baik yang sudah dilayukan, kering ataupun bahan basah ke dalam ketel penyuling yang telah berisi air kemudian dipanaskan. Uap yang keluar dari ketel dialirkan dengan pipa yang dihubungkan dengan kondensor. Uap yang merupakan campuran uap air dan minyak akan terkondensasi menjadi cair dan ditampung dalam wadah. Selanjutnya cairan minyak dan air tersebut dipisahkan dengan separator pemisah minyak untuk diambil minyaknya saja. Cara ini biasa digunakan untuk menyuling minyak aromaterapi seperti mawar dan melati. Meskipun demikian bunga mawar, melati dan sejenisnya akan lebih cocok dengan sistem enfleurasi, bukan destilasi.
Yang perlu diperhatikan adalah ketel terbuat dari bahan anti karat seperti stainless steel, tembaga atau besi berlapis aluminium.
Penyulingan dengan air dan uap (Water and Steam Distillation)
Penyulingan dengan air dan uap ini biasa dikenal dengan sistem kukus. Cara ini sebenarnya mirip dengan system rebus, hanya saja bahan baku dan air tidak bersinggungan langsung karena dibatasi dengan saringan diatas air.
Cara ini adalah yang paling banyak dilakukan pada dunia industri karena cukup membutuhkan sedikit air sehingga bisa menyingkat waktu proses produksi. Metode kukus ini biasa dilengkapi sistem kohobasi yaitu air kondensat yang keluar dari separator masuk kembali secara otomatis ke dalam ketel agar meminimkan kehilangan air. Bagaimanapun cost produksi juga diperhitungkan dalam aspek komersial. Disisi lain, sistem kukus kohobasi lebih menguntungkan oleh karena terbebas dari proses hidrolisa terhadap komponen minyak atsiri dan proses difusi minyak dengan air panas. Selain itu dekomposisi minyak akibat panas akan lebih baik dibandingkan dengan metode uap langsung (Direct Steam Distillation).
Metode penyulingan dengan sistem kukus ini dapat menghasilkan uap dan panas yang stabil oleh karena tekanan uap yang konstan. Jika Anda membutuhkan alat suling (destilator) berbagai type sesuai keinginan, bisa pesan dengan disini.
Penyulingan dengan uap langsung (Direct Steam Distillation)
Pada sistem ini bahan baku tidak kontak langsung dengan air maupun api namun hanya uap bertekanan tinggi yang difungsikan untuk menyuling minyak. Prinsip kerja metode ini adalah membuat uap bertekanan tinggi didalam boiler, kemudian uap tersebut dialirkan melalui pipa dan masuk ketel yang berisi bahan baku. Uap yang keluar dari ketel dihubungkan dengan kondensor. Cairan kondensat yang berisi campuran minyak dan air dipisahkan dengan separator yang sesuai berat jenis minyak. Penyulingan dengan metode ini biasa dipakai untuk bahan baku yang membutuhkan tekanan tinggi pada proses pengeluaran minyak dari sel tanaman, misalnya gaharu, cendana, dll.
Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan pada proses destilasi antara lain :
Bahan baku (Raw material)
Pilih bahan baku yang jelas mempunyai randemen minyak tinggi. Pengukuran rendemen minyak dilakukan di laboratorium atau bisa juga dengan alat Stahl Distillation. Jika belum punya alatnya, Anda bisa pesan dengan disini.
Sebelum disuling bahan baku harus dirajang dahulu untuk mempermudah keluarnya minyak yang berada di ruang antar sel dalam jaringan tanaman.
Tentukan juga perlakuan awal raw material, apakah bahan basah, layu atau kering. Ini sangat penting karena setiap bahan baku memerlukan penenangan yang berbeda. Sebagai contoh perlakuan nilam sebaiknya dalam keadaan kering dengan kadar air antara 22-25%. Jika yang masuk ketel adalah nilam basah membutuhkan waktu destilasi lebih lama, akibatnya cost produksi menjadi lebih besar.
Alat Penyulingan
Untuk mendapatkan produk minyak atsiri yang berkualitas, gunakan alat yang tidak bereaksi/menimbulkan kontaminasi terhadap produk minyak. Material yang baik adalah dengan glass/pyrex dan stainless steel. Untuk material glass hanya mampu untuk skala laboratorium, sedang skala industri biasa digunakan stainless steel.
Jenis material stainlees steel mulai dari yang paling bagus antara lain :
1. Material Pharmaceutical Grade (SUS 316)
2. Material Food Grade (SUS 314)
3. Material Mild Mild Steel Galvanized
4. Material Mild Steel
Untuk keperluan destilasi minyak atsiri biasa digunakan material food grade.
Perlu diperhatikan juga penggunaan jacket ketel atau sekat kalor jika proses penyulingan berada didaerah dingin seperti di pengunungan, ini dimaksudkan agar mengurangi kehilangan kalor panas.
Jangan lupa dipasang juga accessories control dan safety device yang minimal berupa thermometer, manometer tekanan (pressure gauge) dan safety valve untuk alat destilasi yang menggunakan boiler.
Condensor (Pendingin)
Alat ini digunakan untuk kondensasi (mengembunkan) uap yang keluar dari ketel. Prinsip kerja alat adalah merubah fase uap menjadi fase cair karena pertukaran kalor pada pipa pendingin. Pada alat berskala laboratorium bisa menggunakan condensor lurus (liebig), sedang untuk skala industri harus menggunakan kondensor yang lebih besar. Kondensor untuk skala produksi berbahan stainless dalam bentuk pipa spiral agar kontak dengan air pendingin lebih lama dan area perpindahan kalor juga lebih panjang.
Separator (Pemisah Minyak)
Alat ini berfungsi untuk memisahkan minyak atsiri dengan air berdasarkan perbedaan berat jenis. Separator untuk alat suling sistem kukus kohobasi tersedia 2 macam yaitu untuk minyak dengan density (massa jenis) rendah dan minyak density tinggi.
Receiver Tank (Tangki Penampung)
Digunakan untuk menampung minyak atsiri, bisa dari bahan glass atau stainless steel. Untuk bahan glass, gunakan botol gelap agar minyak terhindar dari masuknya sinar matahari langsung sehingga tidak menurunkan grade minyak.
Jumat, Juni 17, 2011
Analisis Flavonoid Metode TLC
Jaman dahulu, kromatografi kertas banyak digunakan untuk analisis flavonoid, tapi sekarang lebih banyak menggunakan metode analisis yang sederhana dan murah yaitu Kromatografi Lapis Tipis (KLT/TLC). Kelebihan KLT ini adalah :
• Proses pemisahan senyawa yang relatif pendek.
• Cara deteksinya cukup dengan pereaksi semprot.
• Bisa menganalisis dalam beberapa sampel dalam waktu yang bersamaan.
KLT cocok untuk orientasi awal analisis ekstrak tumbuh-tumbuhan sebelum dilanjutkankan ke alat instrument analisis lainnya seperti HPLC, GC, dll.
Flavonoid memiliki dua cincin benzene yang dipisahkan oleh propana dan merupakan turunan dari flavon. Secara umum, senyawa flavonoid larut dalam air. Semakin banyak senyawa terkonjugasi semakin berwarna cerah. Didalam tanaman, flavonoid umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida. Perbedaan klasifikasi flavonoid ditunjukkan oleh adanya tambahan kandungan oksigen, cincin heterosiklik dan gugus hidroksil. Kelompok ini antara lain katekin, leucoanthocyanidin, flavanon, flavanonol, flavon, antosianidin, flavonol, chalcone, aurone dan isoflavon.
Ada banyak macam sistem pelarut/eluen yang digunakan untuk pemisahan flavonoid menggunakan KLT. Salah satu contoh hasil metilasi atau asetilasi flavon dan flavonol membutuhkan pelarut nonpolar seperti kloroform-metanol (15:1). Sedang aglikon flavonoid seperti apigenin, luteolin dan quercetin dapat dipisahkan dengan chloroform metanol (96:4) atau dengan polaritas yang sama. Secara umum, mobile phase KLT untuk glikosida flavonoid adalah etil asetat - asam formiat - asam asetat glasial - air (100:11:11:26). Jika dengan penambahan etil metil keton (etil asetat-etil metil keton-asam formiat- asam aseta glasial - air (50:30:7:3:10), rutin dan vitexin-2''-O-ramnosida dapat dipisahkan.
Berkenaan dengan deteksi, spot flavonoid pada pelat KLT menghasilkan kuning-coklat bintik latar belakang putih bila direaksikan dengan uap yodium.
Flavonoid dapat muncul sebagai bintik gelap dengan latar belakang hijau berpendar bila diamati pada sinar UV 254 nm pada pelat berisi indikator UV-fluorescent (seperti silika gel F254). Jika dibawah sinar UV 365 nm, warna spot flavonoid tergantung strukturnya, bisa kuning hijau atau biru fluoresen. Akan lebih jelas dan intensif setelah disemprot dengan pereaksi.
Warna yang bisa diamati pada sinar UV 365 nm adalah sebagai berikut :
• Quercetin, myricetin, dan 3 & 7-O-glikosida : oranye-kuning
• Kaempferol, isorhamnetin, dan 3 & 7-O-glikosida : kuning-hijau
• Luteolin dan 7-O-glikosida : orange
• Apigenin dan 7-O-glikosida : kuning-hijau
Rincian lebih lanjut mengenai penggunaan reagen produk bahan alam dapat dilihat diartikel Brasseur dan Angenot, 1986, hal 351.
Ferri chloride dalam air atau etanol merupakan penampak bercak secara umum pada analisis senyawa fenolik akan memberikan warna biru-hitam pada deteksi flavonoid. Demikian pula Fast Blue Salt B membentuk warna biru atau biru ungu.
Inilah daftar eluen KLT untuk pemisahan flavonoid pada fase diam silica gel :
Sampel Eluen
Flavonoid aglycon EtOAc–Isopropanol–H2O, 100:17:13
EtOAc– Chloroform, 60:40
Chloroform–MeOH, 96:4
Toluene– Chloroform –MeCOMe, 8:5:7
Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Toluene–EtOAc–HCOOH, 10:4:1
Toluene–EtOAc–HCOOH, 58:33:9
Toluene–EtCOMe–HCOOH, 18:5:1
Toluene–dioxane–HOAc, 90:25:4
Flavonoid glycoside n-BuOH–HOAc–H2O, 65:15:25
n-BuOH–HOAc–H2O, 3:1:1
EtOAc–MeOH–H2O, 50:3:10
EtOAc–MeOH–HCOOH–H2O, 50:2:3:6
EtOAc–EtOH–HCOOH–H2O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–H2O, 9:1:1
EtOAc–HCOOH–H2O, 6:1:1
EtOAc–HCOOH–H2O, 50:4:10
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 25:2:2:4
THF–toluene–HCOOH–H2O, 16:8:2:1
Chloroform –MeCOMe–HCOOH, 50:33:17
Chloroform –EtOAc–MeCOMe, 5:1:4
Chloroform –MeOH–H2O, 65:45:12
Chloroform –MeOH–H2O, 40:10:1
MeCOMe–butanone–HCOOH, 10:7:1
MeOH–butanone–H2O, 8:1:1
Flavonoid glucuronide EtOAc–Et2O–dioxane–HCOOH–H2O, 30:50:15:3:2
EtOAc–EtCOMe–HCOOH–H2O, 60:35:3:2
Flavanone aglycone CH2Cl2–HOAc–H2O, 2:1:1
Flavanone glycoside Chloroform –HOAc, 100:4
Chloroform –MeOH–HOAc, 90:5:5
n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:5 (upper layer)
Chalcones EtOAc–hexane, 1:1
Isoflavones CHCl3–MeOH, 92:8
Chloroform –MeOH, 3:1
Isoflavone glycoside n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:5 (upper layer)
Dihydroflavonol Chloroform –MeOH–HOAc, 7:1:1
Biflavonoid Chloroform –MeCOMe–HCOOH, 75:16.5:8.5
Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Anthocyanidin dan anthocyanin EtOAc–HCOOH–2 M HCl, 85:6:9
n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:2
EtCOMe–HCOOEt–HCOOH–H2O, 4:3:1:2
EtOAc–butanone–HCOOH–H2O, 6:3:1:1
Proanthocyanidin EtOAc–MeOH–H2O, 79:11:10
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 30:1.2:0.8:8
Jaman dahulu, kromatografi kertas banyak digunakan untuk analisis flavonoid, tapi sekarang lebih banyak menggunakan metode analisis yang sederhana dan murah yaitu Kromatografi Lapis Tipis (KLT/TLC). Kelebihan KLT ini adalah :
• Proses pemisahan senyawa yang relatif pendek.
• Cara deteksinya cukup dengan pereaksi semprot.
• Bisa menganalisis dalam beberapa sampel dalam waktu yang bersamaan.
KLT cocok untuk orientasi awal analisis ekstrak tumbuh-tumbuhan sebelum dilanjutkankan ke alat instrument analisis lainnya seperti HPLC, GC, dll.
Flavonoid memiliki dua cincin benzene yang dipisahkan oleh propana dan merupakan turunan dari flavon. Secara umum, senyawa flavonoid larut dalam air. Semakin banyak senyawa terkonjugasi semakin berwarna cerah. Didalam tanaman, flavonoid umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida. Perbedaan klasifikasi flavonoid ditunjukkan oleh adanya tambahan kandungan oksigen, cincin heterosiklik dan gugus hidroksil. Kelompok ini antara lain katekin, leucoanthocyanidin, flavanon, flavanonol, flavon, antosianidin, flavonol, chalcone, aurone dan isoflavon.
Ada banyak macam sistem pelarut/eluen yang digunakan untuk pemisahan flavonoid menggunakan KLT. Salah satu contoh hasil metilasi atau asetilasi flavon dan flavonol membutuhkan pelarut nonpolar seperti kloroform-metanol (15:1). Sedang aglikon flavonoid seperti apigenin, luteolin dan quercetin dapat dipisahkan dengan chloroform metanol (96:4) atau dengan polaritas yang sama. Secara umum, mobile phase KLT untuk glikosida flavonoid adalah etil asetat - asam formiat - asam asetat glasial - air (100:11:11:26). Jika dengan penambahan etil metil keton (etil asetat-etil metil keton-asam formiat- asam aseta glasial - air (50:30:7:3:10), rutin dan vitexin-2''-O-ramnosida dapat dipisahkan.
Berkenaan dengan deteksi, spot flavonoid pada pelat KLT menghasilkan kuning-coklat bintik latar belakang putih bila direaksikan dengan uap yodium.
Flavonoid dapat muncul sebagai bintik gelap dengan latar belakang hijau berpendar bila diamati pada sinar UV 254 nm pada pelat berisi indikator UV-fluorescent (seperti silika gel F254). Jika dibawah sinar UV 365 nm, warna spot flavonoid tergantung strukturnya, bisa kuning hijau atau biru fluoresen. Akan lebih jelas dan intensif setelah disemprot dengan pereaksi.
Warna yang bisa diamati pada sinar UV 365 nm adalah sebagai berikut :
• Quercetin, myricetin, dan 3 & 7-O-glikosida : oranye-kuning
• Kaempferol, isorhamnetin, dan 3 & 7-O-glikosida : kuning-hijau
• Luteolin dan 7-O-glikosida : orange
• Apigenin dan 7-O-glikosida : kuning-hijau
Rincian lebih lanjut mengenai penggunaan reagen produk bahan alam dapat dilihat diartikel Brasseur dan Angenot, 1986, hal 351.
Ferri chloride dalam air atau etanol merupakan penampak bercak secara umum pada analisis senyawa fenolik akan memberikan warna biru-hitam pada deteksi flavonoid. Demikian pula Fast Blue Salt B membentuk warna biru atau biru ungu.
Inilah daftar eluen KLT untuk pemisahan flavonoid pada fase diam silica gel :
Sampel Eluen
Flavonoid aglycon EtOAc–Isopropanol–H2O, 100:17:13
EtOAc– Chloroform, 60:40
Chloroform–MeOH, 96:4
Toluene– Chloroform –MeCOMe, 8:5:7
Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Toluene–EtOAc–HCOOH, 10:4:1
Toluene–EtOAc–HCOOH, 58:33:9
Toluene–EtCOMe–HCOOH, 18:5:1
Toluene–dioxane–HOAc, 90:25:4
Flavonoid glycoside n-BuOH–HOAc–H2O, 65:15:25
n-BuOH–HOAc–H2O, 3:1:1
EtOAc–MeOH–H2O, 50:3:10
EtOAc–MeOH–HCOOH–H2O, 50:2:3:6
EtOAc–EtOH–HCOOH–H2O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–H2O, 9:1:1
EtOAc–HCOOH–H2O, 6:1:1
EtOAc–HCOOH–H2O, 50:4:10
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 25:2:2:4
THF–toluene–HCOOH–H2O, 16:8:2:1
Chloroform –MeCOMe–HCOOH, 50:33:17
Chloroform –EtOAc–MeCOMe, 5:1:4
Chloroform –MeOH–H2O, 65:45:12
Chloroform –MeOH–H2O, 40:10:1
MeCOMe–butanone–HCOOH, 10:7:1
MeOH–butanone–H2O, 8:1:1
Flavonoid glucuronide EtOAc–Et2O–dioxane–HCOOH–H2O, 30:50:15:3:2
EtOAc–EtCOMe–HCOOH–H2O, 60:35:3:2
Flavanone aglycone CH2Cl2–HOAc–H2O, 2:1:1
Flavanone glycoside Chloroform –HOAc, 100:4
Chloroform –MeOH–HOAc, 90:5:5
n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:5 (upper layer)
Chalcones EtOAc–hexane, 1:1
Isoflavones CHCl3–MeOH, 92:8
Chloroform –MeOH, 3:1
Isoflavone glycoside n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:5 (upper layer)
Dihydroflavonol Chloroform –MeOH–HOAc, 7:1:1
Biflavonoid Chloroform –MeCOMe–HCOOH, 75:16.5:8.5
Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Anthocyanidin dan anthocyanin EtOAc–HCOOH–2 M HCl, 85:6:9
n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:2
EtCOMe–HCOOEt–HCOOH–H2O, 4:3:1:2
EtOAc–butanone–HCOOH–H2O, 6:3:1:1
Proanthocyanidin EtOAc–MeOH–H2O, 79:11:10
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 30:1.2:0.8:8
TLC (Thin Layer Chromatography) yang biasa disebut Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan kromatografi kertas (KKr) dengan berbagai macam variasinya pada umumnya dirujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom.1
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.2,3]
Dibandingkan dengan HPLC dan GC, TLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
1. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.
2. Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada TLC.
3. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan daat dihentikan kapan saja.
4. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi.
BAHAN DAN TEKNIK
A. Penjerap/Fase diam
Penjerap yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b.
Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid.
Ringkasan berbagai macam agen pembacem silika.4]
B. Fase Gerak pada KLT
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
• Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
• Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
• Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
• Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.5]
C. Aplikasi (Penotolan) sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tabel dibawah ini.
Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
D. Pengembangan
1. Konvensional dan KLT-kinerja tinggi
Elusi KLT
Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending), yang mana ujung bawah lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber) harus dijenuhkan dengan uap fase gerak.
Jarak pengembangan fasegerak biasanya kurang lebih 10-15 cm, akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15 – 20 cm. Untuk lempeng KLT-kinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil, maka pengembangan lempeng dilakukan ada jarak antara 3- 6 cm.
2. Pengembangan 2 dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.
3. Pengembangan Kontinyu
Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan.
4. Pengembangan gradien
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda-beda. Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bejana dan diaduk sampai homogen.
Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu polpuler.4]
E. Deteksi
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi maka bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak :
1. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.
2. Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresesnsi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengembangan.
3. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-kecoklatan.
4. Memaparkan lempeng dengan uapa iodium dalam chamber tertutup.
5. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder).2,5]
Daftar Pustaka
1. Settle, F (Editor), 1997, Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry, Prentice Hall PTR, New Jersey, USA.
2. Mulya, M., dan Suherman, 1995, Analisis Instrumen, Airlangga University Press, Surabaya.
3. Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, 1991, Introduction to Chromatography, diterjemahkan oleh Padmawinata, Edisi II, Penerbit ITB Bandung.
4. Adamovics, J.A., 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York.
5. Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS Scientific Publishers Limited, New York.
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.2,3]
Dibandingkan dengan HPLC dan GC, TLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
1. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.
2. Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada TLC.
3. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan daat dihentikan kapan saja.
4. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi.
BAHAN DAN TEKNIK
A. Penjerap/Fase diam
Penjerap yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b.
Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid.
Ringkasan berbagai macam agen pembacem silika.4]
B. Fase Gerak pada KLT
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
• Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
• Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
• Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
• Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.5]
C. Aplikasi (Penotolan) sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tabel dibawah ini.
Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
D. Pengembangan
1. Konvensional dan KLT-kinerja tinggi
Elusi KLT
Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending), yang mana ujung bawah lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber) harus dijenuhkan dengan uap fase gerak.
Jarak pengembangan fasegerak biasanya kurang lebih 10-15 cm, akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15 – 20 cm. Untuk lempeng KLT-kinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil, maka pengembangan lempeng dilakukan ada jarak antara 3- 6 cm.
2. Pengembangan 2 dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.
3. Pengembangan Kontinyu
Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan.
4. Pengembangan gradien
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda-beda. Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bejana dan diaduk sampai homogen.
Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu polpuler.4]
E. Deteksi
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi maka bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak :
1. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.
2. Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresesnsi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengembangan.
3. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-kecoklatan.
4. Memaparkan lempeng dengan uapa iodium dalam chamber tertutup.
5. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder).2,5]
Daftar Pustaka
1. Settle, F (Editor), 1997, Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry, Prentice Hall PTR, New Jersey, USA.
2. Mulya, M., dan Suherman, 1995, Analisis Instrumen, Airlangga University Press, Surabaya.
3. Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, 1991, Introduction to Chromatography, diterjemahkan oleh Padmawinata, Edisi II, Penerbit ITB Bandung.
4. Adamovics, J.A., 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York.
5. Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS Scientific Publishers Limited, New York.
Langganan:
Postingan (Atom)